Itsar, Akhlak Bangsa Beradab

 Apa Itu Itsar?
“Silakan duduk Bu…!”. Seorang remaja bangkit dari tempat duduknya dan mempersilakan seorang ibu tua untuk menempatinya. Pemandangan di salah satu bis umum ini menggambarkan satu akhlak mulia, yaitu sikap itsar. Itsar berarti mengutamakan orang lain atas diri sendiri, walaupun diri sendiri masih membutuhkan. Remaja tersebut sebenarnya bukan tidak membutuhkan tempat duduk. Ia membutuhkannya, akan tetapi ia memiliki jiwa besar. Ia rela berdiri, agar orang lain bisa duduk. Ia rela berletih ria, agar orang lain bisa istirahat. Benar, orang yang berjiwa besar memiliki sikap itsar.
Pantas saja, jiwa besar tersebut diapresiasi oelh rasulullah saw. Pasalnya, para sahabat dari kalangan kaum Asy’ariyin memiliki sikap itsar dan solidaritas yang luar biasa. Kalau mereka kehabisan bekal dalam perang, atau makanan mereka di Madinah sudah menipis dan nyaris habis, maka mereka kumpulkan makanan yang mereka punya di satu tempat, lalu mereka bagi secara merata diantara mereka. Dengan sikap tersebut, mereka menempati kedudukan mulia di sisi rasulullah saw. Sabda beliau:
فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ
“Mereka itu bagian dariku, dan aku bagian dari mereka” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Mengapa Itsar?
Sikap itsar tidaklah muncul begitu saja tanpa sebab. Karena setiap perbuatan pasti berawal dari motivasi yang mendorongnya. Sehingga perilaku lahiriah bisa menunjukkan isi batin. Lalu suasana batin macam apa yang melahirkan sikap itsar?
1. Ada Cinta Sesama
Seorang wanita miskin bersama dua putrinya datang kepada Siti Aisyah ra, lalu diberinya tiga buah kurma. Oleh ibu tersebut, masing-masing anaknya diberi satu kurma, dan yang satu unntuk dirinya sendiri. Ketika ia hendak memasukkan kurma ke mulutnya, ternyata kedua putrinya memintanya. Akhirnya, ia membelah kurma menjadi dua dan membagikan kembali kepada mereka.
Aku kagum sikapnya, kata Aisyah. Lalu aku sampaikan kepada rasulullah saw. Beliau pun bersabda:
إنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya, Allah telah menetapkan surga untuknya karena sikapnya tersebut” (Hr. Muslim)
Apa yang membuat sang ibu rela menahan lapar dan lebih mementingkan anaknya? Tak lain, jawabnya adalah “Cinta”. Ia mencintai kedua putrinya, dan ia ingin melihatnya bahagia. Subhanallah…! Cinta melahirkan itsar, dan itsar membuahkan surga. Mari kita perluas orbit cinta kita, melampaui diri sendiri dan keluarga, meluas kepada sesama, terlebih terhadap saudara-saudara kita di jalan Allah. Tingkatan cinta yang paling rendah adalah salamatus-shadr (lapang dada), sedangkan yang tertinggi adalahh itsar. Demikian Imam Hasan al-Banna menjelaskan. Pada space itulah kita bergerak.
2. Tombol Kebahagiaan
Tekanlah tombol itsar, agar cahaya kebahagiaan menerangi jiwa kita. Bagaimana orang berharap hidup bahagia, sedangkan sifat rakus dan egois masih menggurita dalam dirinya? Sungguh, jauh panggang dari api, tangeh gawe lamun, seperti burung pungguk merindukan bulan.
Kebahagiaan manusia tidak seperti binatang. Kalau binatang hanya mengenal kebahagiaan materi, karena ia tidak memiliki jiwa. Sebaliknya, kebahagiaan manusia justru berpangkal pada jiwanya. Materi hanya berfungsi sebagai penunjang saja. Kita menyaksikan seorang pelari maraton yang nyaris tersungkur pingsan saat mencapai garis finish. Tapi haru biru kebahagiaan membasahi batinnya karena berhasil tampil sebagai juara pertama. Kebahagiaan yang ia rasakan, membuatnya tak menghiraukan kepayahan fisik yang dialaminya.
Jangan dikira Abu Thalhah ra merana karena melepaskan harta yang paling dicintainya, yaitu kebun Bairuha. Kebun kurma pilihan di depan masjid nabawi yang mata airnya jernih, yang sering disinggahi rasulullah saw. Justru sebaliknya, hati Abu Thalhah berbunga-bunga lantaran bisa menyambut seruan ayat alqur’an yang artinya “Tidaklah kalian memperoleh kebajikan yang sempurna sebelum kalian berinfak dari harta yang kalian cintai” (Qs. Ali Imran/3:96). Selanjutnya, atas petunjuk rasulullah saw, kebun Bairuha tersebut ia bagikan kepada sanak familinya. Abu Thalhah berbahagia bisa mengutamakan sanak familinya dengan pemberian harta yang paling ia cintai. Ya, ia lebih berbahagia dibanding para penerimanya. Itulah itsar, tombol kebahagiaan. Mari selalu kita ON-kan.
3. Yakin Ada Gantinya
Setiap kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain pasti ada gantinya. Tidak akan hilang percuma, walaupun si penerima tidak tahu berbalas budi, bahkan walaupun ia banyak menfitnah dan membalas kebaikan dengan keburukan. Kebaikan yang kita pernah lakukan tetap utuh dan kita jaga dengan keihklasan, kesabaran dan pantang mengungkit-ungkit. Biarlah Allah saja yang tahu, dan para malaikatNya yang mencatat. Cukuplah Allah sbaik-baik pemberi balasan. Baik kini maupun nanti, sekarang maupun yang akan datang, di sini maupun di sana, dan di dunia maupun di akhirat.
Bacalah dan renungkan firman Allah berikut:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Sesuatu apa saja yang kalian infakkan, pasti Ia (Allah) menggantinya. Dan Dia-lah sebaik-baik pemberi rizki” (Qs. Saba’ /34: 39).
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
”Kebaikan yang kalian kerjakan (manfaatnya akan kembali) untuk diri kalian, pasti kalian mendapatinya di sisi Allah, ia lebih baik dan lebih besar pahalanya” (Qs. Al-muzzammil/73: 20).
4. Pagar Ketentraman
Apa jadinya kalau seorang suami egois dan istrinya juga egois? Masing-masing hanya mementingkinkan dirinya sendiri dan rakus bukan kepalang?. Pasti pertengkaran bisa meledak kapan saja dan sulit dicapai kata akur. Akhirnya, berbuntut perceraian. Berbeda halnya kalau orang itsar yang suka berbagi, bertemu dengan orang ‘iffah yang menjaga diri, tidak meminta dan tidak berharap pemberian. Pasti akur dan tentram.
Rasulullah saw bersabda:
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara menjadi perusak. Yaitu, sifat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan membanggakan diri sendiri” (Hr. Thabrani; Hasan).
Kikir memiliki hubungan erat dengan egois. Orang yang kikir biasanya egois, demikian pula sebaliknya. Keduanya menjadi perusak ketentraman dalam kehidupan sosial, baik dalam lingkup rumah tangga maupun masyarakat. Sedangkan sifat dermawan memiliki hubingan erat dengan sifat itsar. Bahkan imam Ghazali mengatakan “Itsar merupakan tingkat kedermawanan yang tertinggi”.
5. Mengikuti Generasi Pilihan
Generasi sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Mereka adalah generasi pilihan yang setia berjuang bersama rasulullah saw dalam suka dan duka, dalam keadaan mudah dan sulit, serta dalam keadaan lapang dan sempit. Antara kaum muhajirin dan kaum anshar tidak ada hubungan sanak atau famili. Tapi mereka telah disatukan oleh ikatan yang paling kuat, yaitu ikatan iman la ilaha illallah. Sehingga mereka saling mencintai dan saling mendahulukan kepentingan saudaranya.
Melalui firmanNya dalam alqur’an, Allah swt telah mengabadikan sikap itsar kaum Anshar dan kecintaan mereka kepada kaum muhajirin.
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan kaum anshar mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (Qs. Al-Hasyr/59: 9).
Inilah contoh sikap itsar mereka. Seorang Anshar, Sa’d bin Rabi’, menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf, saudaranya dari kaum muhajirin. Apa yang ditawarkan? Separoh hartanya dan akan diceraikannya salah satu dari kedua istrinya. Setelah habis masa iddah, boleh dinikahi. Apa jawab Abdurrahman? “Semoga Allah memberkahi harta dan istri Anda. Tolong saya ditunjukkan ke pasar saja”. Ya, karena Sa’d memilki sifat itsar, dan Abdurrahman memiliki sifat ‘iffah. Tidak selang berapa lama, Abdurrahman telah memiliki cukup kekayaan dan menikahi seorang wanita lain, bukan yang ditawarkan oleh saudaranya seiman tersebut.
Tempalah…!
Abu Hurairah ra pada suatu hari sedang lapar-laparnya, tidak ada makanan. Ketika bertemu Rasulullah saw beliau tersenyum karena faham keadaannya, lalu mengajaknya ke rumah. “Ayo ikut saya”, Kata beliau. Sesampai di rumah, beliau mengambil mangkok besar berisi susu, hadiah dari seseorang. Lalu menyuruh Abu Hurairah memanggil para sahabat yang tinggal di serambi masjid. Beliau tahu kalau Abu Hurairah sendiri sangat membutuhkan susu itu, tapi beliu ingin menempanya agar memiliki sikap itsar.
“Tolong ambilkan mangkok dan berikan minum kepada mereka”, Nabi menyuruh Abu Hurairah yang tentu khawatir tidak kebagian. Setelah semuanya minum, dan tinggal nabi bersama Abu Hurairah, beliau bersabda “Sekarang tinggal aku dan kamu , wahai Abu Hurairah”. “Benar, ya rasulallah”, jawabnya. “Duduk dan minumlah” kata beliau. Dan Abu Hurairah pun minum sampai kenyang. Sisanya, diminum oleh rasulullah. (Ringkasan Hr. Bukhari). Beliu mendahulukan para sahabatnya, dan rela kenyang paling akhir.

KH. Arwani Amin, Lc
Staf Ahli LAZ Cilacap

Dipostingkan oleh : Abu Zaky

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours