1. Shalat Jama’ah itu diperintahkan
Untuk kaum laki-laki, shalat lima waktu secara berjamaa’ah di masjid atau mushalla, itu disyari’atkan. Nabi Muhammad saw telah memerintahkannya kepada para sahabat, dan beliau sendiri selalu menjaganya. Tampaknya, komitmen kita untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid perlu dikuatkan, mengingat banyak masjid yang sehari-harinya minim jama’ah. Biasanya kelihatan banyak hanya pada waktu shalat jum’at saja. Setelah itu sepi kembali, menunggu juma’at berikutnya.
Padahal, seluruh ulama dari madzhab manapun, semuanya sepakat bahwa shalat berjamaah itu diperintahkan. Perbedaannya hanyalah pada sifat perintah. Apakah bersifat mengikat yang berarti wajib / fardhu? Ataukan bersifat anjuran yang sangat ditekankan / sunnah muakkadah?
2. Hukum Shalat Jama’ah
Dalam hal ini ada empat pendapat. Pertama fardhu ‘ain, yang berarti setiap orang laki-laki wajib menunaikan shalat lima waktu dengan berjama’ah. Kedua fardhu kifayah, yang berarti dalam satu lingkungan wajib ada pelaksanaan shalat fardhu berjamaah, kalau tidak maka semua yang berada di lingkungan tersebut berdosa. Ketiga sunnah muakkadah, yakni disunnahkan dengan amat sangat dan sebisa mungkin tidak ditinggalkan. Dan keempat fardhu ‘ain dan menjadi syarat sahnya shalat.
Imam Ahmad mengambil pendapat pertama, madzhab Syafi’I pendapat kedua, murid-murid imam Abu Hanifah dan mayoritas murid imam Malik mengambil pendapat ketiga, dan Ibnu Hazm mengambil pendapat keempat.
3. Keluar dari Khilaf
Menyikapi empat pendapat di atas, ada satu kaedah fiqhiyah yang patut kita jadikan acuan. Yaitu kaedah yang mengatakan:
اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
Artinya: “Keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) itu dianjurkan”. Bagaimana caranya? Umpamanya soal mengusap kepala dalam berwudhu. Menurut imam syafi’I, mengusap kepala seberapapun sah. Menurut imam Abu Hanifah, minimal mengusap sepertiga kepala. Dan menurut imam Malik, wajib mengusap seluruh kepala. Kalau kita mengusap seluruh kepala, pasti sah dan sempurna wudhu kita menurut semua pendapat. Karena dalam madzhab Syafi’i sendiri juga disunnahkan mengusap seluruh kepala.
Kaitannya dengan shalat berjama’ah, kita juga bisa keluar dari khilaf. Caranya, tunaikan shalat fardhu dengan selalu berjama’ah, pasti kita dibenarkan oleh semua pendapat di atas. Dan dengan begitu, berarti kita mengindahkan apa yang dicontohkan dan diperintahkan oleh uswatun hasanah kita, nabi Muhammad saw.
4. Dalil-dalil yang Mewajibkan
Dengan harapan bisa keluar dari khilaf, dan dengan tetap menghormati perbedaan pendapat, berikut ini kita sebutkan diantara dalil-dalil yang dijadikan dasar wajibnya shalat lima waktu secara berjama’ah bagi kaum laki-laki.
a. Perintah Allah
Allah swt berfirman:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَوةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
“dan tegakkanlah shalat, bayarkanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “ (Qs. Al-baqarah/2: 43).
Allah memberi perintah “…dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “. Ayat Ini berisi perintah untuk menunaikan shalat secara berjama’ah. Sedangkan prinsip awal suatu perintah itu menunjukkan hukum wajib (al-ashlu fil-amri lil-wujub), maka shalat berjama’ah hukumnya wajib karena diperintahkan Allah.
b. Tetap Berjama’ah di Saat Genting
Dalam keadaan genting atau situasi perang, dimana musuh sudah berada di hadapan yang sewaktu-waktu bisa menyerbu, nabi Muhammad saw masih diperintahkan oleh Allah swt untuk menunaikan shalat fardhu berjama’ah bersama para sahabat, walau sambil menyandang senjata. Perintah ini ditegaskan dalam surat An-nisa/4: 102, termasuk tata cara shalat berja’ah dalam situasi perang.
Yaitu dengan membagi pasukan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berjamaah dengan nabi sedangkan kelompok kedua berjaga. Setelah kelompok pertama mengikuti satu rakaat, mereka melanjutkan sendiri hingga salam. kemudian menggantikan posisi kelompok kedua yang berjaga.
Kemudian kelompok kedua pun datang bermakmum dengan nabi yang menunggu mereka dalam posisi berdiri. Saat nabi telah menyelesaikan rakaatnya, beliau tidak langsung salam, melainkan menunggu dalam keadaan tahiyat. Mereka melanjutkan rakaat berikutnya hingga menyusul tahiyat bersama Nabi, lalu salam bersamanya.
Dalam keadaan genting dan suasana perang saja, Allah perintahkan shalat berjama’ah. Kalau sekiranya hukumnya tidak wajib, tentu mereka bisa melakukannya sendiri-sendiri. Ayat ini juga menujukkan fardhu ‘ain, sebab kalau sekiranya fardhu kifayah, niscaya kelompok pertama saja yang berjamaah sudah menggugurkan kewajiban bagi kelompok yang kedua. Ternyata, kedua-duanya diperintahkan berjama’ah oleh Allah SWT.
c. Tidak Ada Dispensasi
Ibnu Ummi Maktum ra bertanya kepada nabi saw. Ia mengutarakan: “Ya rasulallah, sesungguhnya aku ini buta, rumahku jauh, dan orang yang nuntun saya tidak cocok. Apakah ada rukhsoh (dispensasi) bagi saya untuk menunaikan shalat di rumah saja?”. Nabi saw bertanya: “Apakah engkau mendengar adzan?”. Ia menjawab: “Ya”. Nabi saw bersabda:
لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
“Aku tidak menemukan adanya rukhsoh untukmu” (Hr. Abu Dawud; Hasan Shahih)
Sabda rusulullah ini menegaskan bahwa seorang muslim yang mendengar adzan harus mendatangi shalat jama’ah, tidak ada dispensasi. Kalau sekiranya boleh tidak berjama’ah dan cukup shalat di rumah, tentulah seorang sahabat yang buta ini diizinkan shalat lima waktu di rumah. Ternyata nabi tidak mengizinkan, walaupun ia orang buta, rmahnya jauh, dan penuntunnya kurang cocok.
d. Tiada Shalat Tanpa Jama’ah
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Siapa yang mendengar adzan, lalu tidak mendatanginya, maka tiada shalat baginya kecuali karena ada udzur” (Hr. Ibnu Hibban dan lainnya; Shahih)
Ya, tiada shalat baginya, karena shalatnya tidak diakui oleh nabi saw. Setidaknya, shalatnya tidak sempurna dan banyak kekurangan, walaupun sah. Demikiann penjelasan jumhur ulama’. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, tiada shalat baginya, artinya shalatnya tidak sah karena berjamaah menjadi syarat sahnya shalat.
e. Kesaksian Ibnu Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud, atau yang dikenal dengan Ibnu Mas’ud adalah seorang sahabat nabi yang mulia. Sebagai orang yang telah banyak menimba ilmu dari nabi, hidup dan berjuang bersamanya, ia mengatakan:
“Siapa yang senang berjumpa Allah swt sebagai muslim, maka jagalah shalat lima waktu dimana dikumandangkan adzan. Karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan jalan petunjuk untuk nabi kalian, dan shalat lima waktu berjama’ah itu termasuk jalan petunjuk itu. Kalau kalian menunaikan shalat di rumah kalian sebagaimana orang yang teledor menunaikan shalat di rumahnya, niscaya kalian meninggalkan jalan nabi kalian. Dan kalau kalian meninggalkan jalan nabi kalian, niscaya kalian tersesat”. Ia melanjutkan:
وَلَقَدْ رَأيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ
“Sungguh aku melihat bahwa di kalangan kami tidak ada yang meninggalkan shalat jama’ah, kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya…” (Riwayat Muslim).
Tentu, kita semua ingin selalu berada dalam barisan orang-orang beriman yang mengikuti jejak nabi dan para sahabatnya yang mulia, bukan jejak orang-orang munafik.
KH. Arwani Amin, Lc (Pengasuh PP Nurul Ihsan) Staf Ahli LAZ Cilacap
Bahan Bacaan: Kitab Shalatul Jama’ah fi dhauil kitab was-sunnah, Syekh Dr. Sa’id ibn Wahf Alqahthani, dan Rayadhus-shalihin Imam An-Nawawi.
+ There are no comments
Add yours