Berikut ini hukum-hukum penting seputar bayi yang baru lahir; dan apa saja yang perlu dilakukan terhadapnya:
Ketika lahir
1. Dianjurkan memberikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedangkan ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (ia berkata): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya”. (QS. Ali Imraan: 39)
2. Mentahnik (mengunyah buah kurma, lalu mengolesinya ke langit-langit mulut si bayi, atau jika tidak ada dengan madu) dan mendoakan keberkahan untuknya (seperti mengucapkan “Baarakallahu fiih”).
عَنْ أَبِى مُوسَى – رضى الله عنه – قَالَ : وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ.
Dari Abu Musa ia berkata: Anak saya lahir, lalu saya membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau menamainya Ibrahim, mentahkniknya dengan kurma dan mendoakan keberkahan untuknya.” (HR. Bukhari)
Pada hari ketujuh (hari lahir dihitung sebagai hari pertama)
1. Mencukur habis rambutnya (baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan bersedekah kepada orang-orang miskin dengan perak atau senilainya sesuai berat rambutnya ketika ditimbang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah saat ia melahirkan Al Hasan:
يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِيْ رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِيْ بِِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً
“Wahai Fathimah! Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah sesuai berat rambutnya dengan perak.” (HR. Ahmad, Malik, Tirmidzi, Hakik, dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 1226)
Dalam mencukur anak, kita dilarang mencukur dengan model qaza’ (mencukur sebagian kepala dan meninggalkan sebagian yang lain). Termasuk qaza’ adalah:
– Mencukur secara acak.
– Mencukur bagian tengah kepala dan meninggalkan pinggir-pinggirnya.
– Mencukur pinggir-pinggir kepala dan meninggalkan bagian tengahnya.
– Mencukur bagian depan kepala dan meninggalkan bagian belakang.
Memberinya nama
(bisa dilakukan pada hari lahirnya, hari ketiga atau hari ketujuh), dan hendaknya seorang bapak memilih nama yang baik untuk anaknya. Ciri nama yang baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan, mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama, seperti nama asing yang tidak jelas, tasyabbuh (menyerupai) nama orang-orang kafir dan nama yang memiliki arti buruk.
Meng’aqiqahkannya.
‘Aqiqah artinya hewan yang disembelih untuk bayi yang baru lahir. Aqiqah termasuk hak anak yang hendaknya dipenuhi orang tua. Hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَماً وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Setiap anak hendaknya ada ‘aqiqah. Oleh karena itu, tumpahkanlah darah dan singkirkanlah kotoran.” (HR. Bukhari)
Maksud “tumpahkanlah darah” adalah dengan disembelihkan hewan untuknya. Sedangkan maksud “disingkirkan kotoran” adalah dengan dicukur rambutnya. Untuk anak laki-laki, disembelihkan dua ekor kambing yang sepadan (baik usia, jenis maupun fisiknya), sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; , أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ; أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ –
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. (HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Jika tidak sanggup dua ekor kambing untuk bayi laki-laki, maka tidak mengapa seekor kambing.
Waktu ‘aqiqah adalah pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari keempat belas dan jika tidak bisa, maka pada hari kedua puluh satu. Imam Ahmad berkata: “Disembelih pada hari ketujuh, jika tidak dilakukannya, maka pada hari keempat belas dan jika tidak dilakukannya, maka pada hari kedua puluh satu.”[1]
Mengkhitannya
Khitan termasuk sunanul fithrah (sunnah para nabi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ » .
“Fitrah itu ada lima atau lima bagian fitrah, yaitu, “Berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” (Muttafaq ‘alaih)
Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki, karena ia merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan mengikutinya, di samping itu khitan termasuk syi’ar yang membedakan kita dengan non muslim. Khitan bagi wanita merupakan keutamaan bagi mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada sebagian wanita tukang khitan di Madinah:
اِخْفِضِيْ وَلَا تُنْهِكِيْ ، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ
“Rendahkanlah dan jangan berlebihan, karena yang demikian dapat mengindahkan muka dan menyenangkan suami.” (shahih, HR. Abu Dawud, al-Bazzar, Thabrani dll, lih. Silsilah ash-Shahiihah 2:353-358)
Ulama madzhab Syafi’i menganjurkan agar khitan dilakukan pada hari ketujuh. Demikian juga hendaknya khitan dilakukan tidak ketika anak mencapai masa baligh. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh bagi wali membiarkan anaknya tidak dikhitan hingga ia baligh.”
Kecuali jika sebelumnya ia non muslim, lalu masuk Islam atau tidak mengetahui hukum khitan, maka meskipun sudah dewasa, ia tetap disyari’atkan berkhitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang datang kepada Beliau menyatakan diri masuk Islam:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkanlah rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud dan isnadnya hasan)
Meskipun di Indonesia kelaziman mengkhitan anak dilakukan para orang tua ketika akan menginjak usia pra sekolah, usia anak SD dan dilakukan ketika liburan sekolah.
Wallahu a’lam
+ There are no comments
Add yours